Wednesday, August 6, 2014

ARPEN - TERJEBAK DALAM NAMA

Bermain adalah kegiatan yang takkan terlepas dari ingatan seorang anak. Melaluinya dengan teman sepermainnan dan berbagai dolanan yang akhirnya telah musnah dimakan usia milenia 2000. Gadis kecil berperawakan manis putih selalu terlihat diam diantara pasukan merah putih di sekolah dasar. Kecerdasannya terkadang mampu mengenalkan dirinya pada teman-teman kelasnya. Tahun 1994, kelahiran dengan berbagai fasilitas mewah karena kekayaan orang tuanya. Tuhan memberikan anugrah kepandaian diantara bayi-bayi lainnya. Berbagai kejuaraan bayi dapat diraih.
Tahun-tahun silih berganti, daun-daun rindang di atas pohon pun harus gugur jatuh, roda sepeda terhenti di bawah mencium aspal dan tidak lagi berputar. Kebangkrutan orang tuanya terjadi di kelahiran adiknya kedua. Sepertinya Batara Guru mengikuti jelas jejak si gadis. Kesombongan karena anugrah kecerdasan yang ia dapat menambah jalan kesendirian gadis. Jalan mana yang di tempuh tiada sapa, bully yang terlahir.
“Swastantika Kumaladevi” panggil guru kelas IV yang lama menjanda karena kesetiaan pada almarhum suami.
“Hadir bu”
Ya, Swastantika Kumaladevi tak lain adalah gadis itu dan aku. Roda sepeda di arena balap belum juga baik adanya. Caci maki terdengar di sorak- sorak. Botol bekas dan sampah terlihat terbang menuju arahnya berdiri. Namun, Tuhan tak egois roda harus tetap berjalan beberapa teman datang memompa dan berjalan bersama. Daun jatuh yang pernah rindang pun terus terbang tak terarah, terinjak, jatuh di kubangan namun selalu mencoba terbang. Setiap makhluk terlahir untuk mencapai tujuan. Di mana tujuan itu adalah Tuhan meraihNya tetap pada jalan kebenaran dan teguh pendirian.
Tahun-tahun berikutnya tak jauh berbeda. Merasa tak adil mengapa harus diri ini. Begitu banyak cobaan yang ditempuh sang roda. Jalur lambat yang ditempuhnya untuk kemenangan jamak dunia. Luka-luka itu pun mulai mendewasakan Swastantika. Perih selalu melatih raga ini. Hingga di tahun kedelapanbelasku ku temukan jati diri yang hilang setelah benar-benar tertusuk oleh luka yang begitu dalam. Setelah berteman dengan berbagai iblis kehidupan.
Cinta kekasih dan sahabat hanya luka namun aku tak pernah membenci mereka karena merekalah yang mendewasakanku. Ku temukan banyak topeng dikehidupan sebelumnnya. Kini hanyalah nama yang menguatkanku. Ya, si raut wajah tua itu pasti memberiku nama ini untuk kebaikanku juga. Dulu pernah ku membenci nama Swastantika yang terlihat norak dan yang memanggil swas selalu mengartikan negatif atau misuh ‘su-wAS-SU-was’. Bukan ayah ibu yang memberikannya, walau nama Swastantika terlalu berat artinya dan dijadikan pegangan hidup. Berat itu selalu membuat sakit tapi takkan pernah jatuh untuk kedua kalinya.
Beberapa tahun kemudian nama Swastantika memberikan kekuatan hidup dan kebanggaan tersendiri. Walau terkesan hindus begitu cacian mereka. Swastantika mengambil kata SWASTA dan TIKA yaitu Wanita yang berusaha sendiri dan baik jadinya seperti yang kesuksesan yang diraih ayahnya dibidang wiraswasta. Swastika adalah lambang dari perputaran matahari damai bagi seluruh penjuru bumi. Dalam bahasa sansekerta pun berarti sesuatu yang baik.
Sampai sekarang fana bagiku sebuah cinta kekasih dan sahabat. Walau sekarang ku punya 7 sahabat terbaik (Shofa, Osy, Zidni, Reza, Mun, Kuma, VJ and Machito). Biar swastika berjalan tanpa cinta dari siapapun kecuali cinta Tuhan dan Ibu-Ayah. Seperti terjebak dalam nama inginku berusaha terus agar baik jadinya tidak peduli gaya-gaya modern yang ada yang hanya fana dunia. Diri ini bukanlah wanita yang bisa ikut-ikutan saja atau diminta mengikuti. Proses mengenal adalah diriku jika baik akan ku ikuti. Swastika selalu memberikan kasih sayangnya untuk semua makhluk Tuhan karena damai yang dimilikinya walau sampai saat ini swastika tidak mempunyai cinta yang alami dari mereka. Tulisan ini hanya sekedar penguat diri bagi penulis dan bagi pembaca tetaplah hidup menjadi diri sendiri bukan topeng kemunafikan dan buat banggalah nama yang anda miliki jangan dibuat alay. Bersyukurlah!

Ar-pen

No comments: