Bermain adalah
kegiatan yang takkan terlepas dari ingatan seorang anak. Melaluinya dengan
teman sepermainnan dan berbagai dolanan yang akhirnya telah musnah dimakan usia
milenia 2000. Gadis kecil berperawakan manis putih selalu terlihat diam
diantara pasukan merah putih di sekolah dasar. Kecerdasannya terkadang mampu
mengenalkan dirinya pada teman-teman kelasnya. Tahun 1994, kelahiran dengan
berbagai fasilitas mewah karena kekayaan orang tuanya. Tuhan memberikan anugrah
kepandaian diantara bayi-bayi lainnya. Berbagai kejuaraan bayi dapat diraih.
Tahun-tahun silih
berganti, daun-daun rindang di atas pohon pun harus gugur jatuh, roda sepeda terhenti
di bawah mencium aspal dan tidak lagi berputar. Kebangkrutan orang tuanya
terjadi di kelahiran adiknya kedua. Sepertinya Batara Guru mengikuti jelas
jejak si gadis. Kesombongan karena anugrah kecerdasan yang ia dapat menambah
jalan kesendirian gadis. Jalan mana yang di tempuh tiada sapa, bully yang
terlahir.
“Swastantika
Kumaladevi” panggil guru kelas IV yang lama menjanda karena kesetiaan pada
almarhum suami.
“Hadir bu”
Ya, Swastantika
Kumaladevi tak lain adalah gadis itu dan aku. Roda sepeda di arena balap belum
juga baik adanya. Caci maki terdengar di sorak- sorak. Botol bekas dan sampah
terlihat terbang menuju arahnya berdiri. Namun, Tuhan tak egois roda harus
tetap berjalan beberapa teman datang memompa dan berjalan bersama. Daun jatuh
yang pernah rindang pun terus terbang tak terarah, terinjak, jatuh di kubangan namun
selalu mencoba terbang. Setiap makhluk terlahir untuk mencapai tujuan. Di mana
tujuan itu adalah Tuhan meraihNya tetap pada jalan kebenaran dan teguh
pendirian.
Tahun-tahun
berikutnya tak jauh berbeda. Merasa tak adil mengapa harus diri ini. Begitu
banyak cobaan yang ditempuh sang roda. Jalur lambat yang ditempuhnya untuk
kemenangan jamak dunia. Luka-luka itu pun mulai mendewasakan Swastantika. Perih
selalu melatih raga ini. Hingga di tahun kedelapanbelasku ku temukan jati diri
yang hilang setelah benar-benar tertusuk oleh luka yang begitu dalam. Setelah berteman
dengan berbagai iblis kehidupan.
Cinta kekasih dan
sahabat hanya luka namun aku tak pernah membenci mereka karena merekalah yang mendewasakanku.
Ku temukan banyak topeng dikehidupan sebelumnnya. Kini hanyalah nama yang
menguatkanku. Ya, si raut wajah tua itu pasti memberiku nama ini untuk
kebaikanku juga. Dulu pernah ku membenci nama Swastantika yang terlihat norak
dan yang memanggil swas selalu mengartikan negatif atau misuh ‘su-wAS-SU-was’.
Bukan ayah ibu yang memberikannya, walau nama Swastantika terlalu berat artinya
dan dijadikan pegangan hidup. Berat itu selalu membuat sakit tapi takkan pernah
jatuh untuk kedua kalinya.
Beberapa tahun
kemudian nama Swastantika memberikan kekuatan hidup dan kebanggaan tersendiri.
Walau terkesan hindus begitu cacian mereka. Swastantika mengambil kata SWASTA
dan TIKA yaitu Wanita yang berusaha sendiri dan baik jadinya seperti yang
kesuksesan yang diraih ayahnya dibidang wiraswasta. Swastika adalah lambang
dari perputaran matahari damai bagi seluruh penjuru bumi. Dalam bahasa
sansekerta pun berarti sesuatu yang baik.
Sampai sekarang
fana bagiku sebuah cinta kekasih dan sahabat. Walau sekarang ku punya 7 sahabat
terbaik (Shofa, Osy, Zidni, Reza, Mun, Kuma, VJ and Machito). Biar swastika
berjalan tanpa cinta dari siapapun kecuali cinta Tuhan dan Ibu-Ayah. Seperti
terjebak dalam nama inginku berusaha terus agar baik jadinya tidak peduli
gaya-gaya modern yang ada yang hanya fana dunia. Diri ini bukanlah wanita yang
bisa ikut-ikutan saja atau diminta mengikuti. Proses mengenal adalah diriku
jika baik akan ku ikuti. Swastika selalu memberikan kasih sayangnya untuk semua
makhluk Tuhan karena damai yang dimilikinya walau sampai saat ini swastika
tidak mempunyai cinta yang alami dari mereka. Tulisan ini hanya sekedar penguat
diri bagi penulis dan bagi pembaca tetaplah hidup menjadi diri sendiri bukan
topeng kemunafikan dan buat banggalah nama yang anda miliki jangan dibuat alay.
Bersyukurlah!
Ar-pen
No comments:
Post a Comment