Monday, June 23, 2014

Cerpen Swastisoed - Temaram, Bukan Langitku


Temaram, Bukan Langitku
Terik matahari siang ini menggerogoti daya pikiranku, lelah, sekaligus lapar aku yang bergegas menuju parkiran motor tak sengaja menabrak hingga menjatuhkan stik drum yang dipegang seorang lelaki muda bergaya emo rocker. Dug bunyinya, aku baca karakter huruf di stik tersebut.  
“W and R... Eh  sory kak...Ini” cetusku sambil mengembalikan stik drum itu.
Dan dia hanya jawab ketus “White Rose, ini milikku. Ya tak apa.”  Aku dan dia berlalu begitu saja tanpa melihat lebih lama lebih jauh dan pernah ku berharap bila dikemudian di waktu yang lama white rose adalah jodoh yang tertunda.  
Percayalah bahagia untukmu itu ada entah nanti, esok, atau lusa. Dulu jodoh bagiku adalah hal yang bulsit karena aku bukan wanita yang akan diinginkan pria dalam tanda kutip. Namun itu dulu semua butuh proses dan proses menuju taubat itu adalah nikmat untuk disyukuri.
Aku Tisa, mahasiswa akhir semester pendidikan yang hampir lulus skripsi. Enam tahun yang lalu aku seorang gadis yang penuh ambisi di dunia musik, banyak piala kejuaraan dan teman kudapat dalam dunia ini. Entah apa yang terfikirkan oleh masa remajaku saat itu hanya bermain saja dan mencari kebahagiaan hidup. Hingga akhirnya ku pernah jatuh ke lubang dasar dunia. Lubang yang begitu asing namun sangat terasa sakitnya. Hingga bertahun – tahun lamanya luka ini bisa memudar karena aktifitasku yang baru.
Kecelakaan orang tuaku adalah awal kehancuran hidupku, mereka meninggalkanku saat aku beranjak dewasa. Masa dimana seharusnya ku mendapat perhatian lebih besar, masa dimana aku ingin orang tuaku melihat aku lulus SMA dengan banyak prestasi. Namun itu hanya angan belaka. Aku pun tinggal bersama kakakku dirumah sepeninggalan dan warisan yang begitu besar. Jadi aku masih bisa bertahan hidup tanpa bantuan siapa pun. Pesta kelulusan adalah lubang kehancuran terbesar dalam hidupku. Sejak itu aku hanya hura-hura dengan temanku.
Awal masuk perkuliahan entah apa yang menyuruhku untuk memasuki dunia pendidikan. Seperti ada malaikat yang menolongku untuk menjadi lebih baik karena ternyata Allah sangat sayang umatnya. Hari-hari ku lalui penuh proses di perkuliahan, dari pakaian, sikap hingga tutur kata. Dan kuputuskan untuk mulai berhijab. Mulai menata hidup baru.
Banyak kegiatan yang kulalui hingga hati ini menyesal, menangisi apa  yang aku lakukan saat itu. Kini ku merekam segala memoriku ke dalam nofel buatanku. Profesi sebagai penulis pun telah kusandang selama 2 tahun ini.
“Tisa, lagi apa lo? Baca apaan sih” Tanya Fita dari belakang. Fita adalah sahabatku selama di perkuliahan dia setahun yang lalu sudah lulus kuliah pendidikan.
“Eh lo Fit,  nih nofel pertama gue” Jawabku sambil memperlihatkan buku pertamaku yang terbit dua tahun lalu.
“Jangan menyesali yang dulu ya.. Sekarang masa depanmu yang cerah udah di depan mata... gimana nih detik-detik wisuda? Hhe Oya nih undangan pernikahan gue buat loe”
“Fitaaa oh no congrattss ya girl i miss you, tenang aja gue pasti dateng... asal lo  dateng ke wisudha gue okee”
“Siap boss. Oya nanti jadi kan dateng ke seminar penulis-penulis muda?” tanya Fita.
“Jadi, tapi aku belum mandi hhe, mandi dulu yak kamu tunggu sini...”
“Oke sayang”
**
“Jadi hadirin sekalian apa ada pertanyaan?” tanya moderator kepada peserta seminar.
Tepuk tangan semua peserta pun berguruh dan mengakhiri acara tersebut. Aku pulang dengan Fita di balik pintu keluar beberapa pria sepertinya panitia menggugah fikiranku seperti pernah bertemu.
“Terimakasih kak telah datang ke acara kita”. Begitu ucap mereka dengan senyum.
Entah ada dewi fortuna lewat atau apalah tiba tiba tangan kanannya nyangkut di tasku.
“Eh maaf mba...”
“Eeehh aduh iya gapapa mas..” jawab ku dan cepat berlalu karena Fita telah nungguin di depan.
“Lo kenal sa?” tanya fita sambil gandeng aku.
“Kayaknyaa, Eh jadi ke rumah calon mertua lo gak nih?”
“Humm iya sa ayo tapi beli kue dulu ya...”
“Tuh di toko kemarin aja fit, ayo! Taxi...”
Langit biru yang indah mewarnai hari sahabat gue kali ini. Di balik dalam mobil senyumnya terus bersinar apa karena akan menikah menempuh hari baru bersama suami pilihan yang dicintainya. Berbeda jauh denganku yang sudah lima tahun menutup hati untuk semua lelaki di dunia karena semuanya seperti iblis yang selalu menyakiti yang menghancurkan hidup ini. Entah sampai kapan.
“Astagfirullah” teriak Fita sambil menutup mata.
“Ada apa fit?” tanya ku kaget.
“Muda-mudi sekarang tambah tak tau diri bisa-bisanya bercumbu di taman. Muslimah lagi”
“Hah..” Aku hanya bengong menghela nafas. Tiba-tiba air mata ku menetes.. “Tak jauh berbeda denganku yang dulu fit” ucapku seraya memeluk sahabat ku.
“Tisa.. kamu sudah berbeda kamu sudah lebih baik... Yukk lihat beberapa komplek lagi kita sampai di toko roti.. udahh ya jangan nangiss girl..” nasihat Fita kepada ku hingga sampailah taxi yang kita naiki di toko bercat pelangi.
“Fita...Tisaa...” suara besar memanggil ku dan sahabatku dari dalam toko roti.
“Eh pak dosen... sama istrinya pak... awet ya pak” celetuk Fita biasa menggoda pasangan dosen muda itu.
“Haha kamu ini fit... Oya kamu sama Farid mau maried ya...”
“Iya bu..”
“Jodoh itu memang gak kemana Fit...wanita baik akan mendapat pria yang baik pula dan sebaliknya... ehmm kamu kapan Tisa... jadi penulis uda wisuda sebentar lagi... terus nikah yaa..”
“Belum ada pilihan pak...” jawabku sambil tertawa kecil
Tawa pun menggelitik suasana kami berempat di dalam toko Pelangi lalu berlalu begitu saja seperti waktu pada jam dinding yang selalu tiktoktiktok menuju kehidupan abadi yang tak pernah kita tahu kapan akan terjadi.                    
                                                            **********
Sore itu di dekat rumah Farid, tunangan Fita. Aku putuskan untuk berjalan di taman karena aku tidak ingin mengganggu kehangatan  canda tawa calon keluarga baru. Di taman ada banyak anak-anak yang sedang mendengarkan cerita dongeng dari seorang pemuda gagah. Rasa ingin tahuku benar-benar menggoda, selain berada di dunia pendidikan aku kan juga suka anak-anak.
“Sore, bolehkan aku bergabung.” tanya ku.
“Boleh silahkan, Ukhty” jawab pemuda tersebut.
Aku pun langsung duduk di rerumputan. Sungguh udara yang sejuk di senja sore. Langit senja, terfikir dalam ingatanku. Senja di masyarakat biasanya dihubungkan dengan kehidupan. Ya kehidupan akhir, menuju masa tua, yang remang-remang, atau biasa ku sebut temaram. Masa mudaku yang suram selalu ku artikan dengan langit temaram. Karena hampir gelap dan menuju gelap dunia tapi masih remang-remang.
Suara tepuk tangan anak-anak membuyarkan lamunanku. Anak-anak bergegas pulang karena sudah terlalu sore. Aku pun ikut berdiri.
“Ukhty tadi tak mendengarkan cerita dongeng ku kan” tanya pemuda yang sepertinya ku kenal itu.
“Dengar, ceritanya bagus hingga terbawa suasana” jawab ku ringan.
“Aku Dimas, aku aktifis pendidikan. Ini buku ku, aku harap ukhty mau membaca”
“Untuk ku? Anda penulis?”
“Iya untuk ukhty. Saya hanya penulis baru. Dulu saya adalah musisi.”
Singkat cerita kami bisa dekat. Banyak kecocokan yang kami dapat. Kita sama-sama musisi dahulu dan sekarang seorang aktifis pendidikan. Dia baik padaku sangat baik kutemukan kehangatan seorang ayah dalam dirinya.
Tiga bulan kami menjalani aktifitas bersama, mengajar, menulis, sosial pendidikan, hingga aku dinyatakan sebagai sarjana. Mei 2014, Dimas memintaku menjadi kekasihnya. Selama 6 tahun sudah aku selalu menolak lelaki, mematangkan iman, bertaubat, dan fokus di pendidikan. Kini ku sudah semakin tua, sahabatku sudah menikah. Namun, janji tetap janji. Aku tidak akan menerima lelaki entah itu pacaran atau lamaran sebelum lulus S2.
“Maaf Dimas aku tak bisa sekarang”
“Kenapa, bukankah kau menyukaiku. Fita sahabatmu sendiri yang bilang. Apakah kamu takut berpacaran? Bukankah dibalik jilbabmu dulu kamu suka pegangan dengan pacarmu”
Aku kaget dengan perkataan Dimas. Aku yang tak kuasa menahan emosi pergi dari hadapannya. Bukannya tidak ingin pacaran atau sekedar memunafikan diri. Pacaran hanya akan membuatku tambah berdosa setelah dosaku di masa muda dulu. Dari sekian kaliku pacaran, ku selalu menomor satukan kekasih namun, apa yang terjadi aku dinomor duakan. Berbeda dengan Allah yang selalu ku duakan hingga ku tigakan, Allah selalu hadir disetiap ku membutuhkan. Jatuh ke dalam delima yang berlarut-larut hingga galau pun hanya akan menghambat aktifitas.
Seminggu tidak ada kabar dari Dimas ataupun aku. Aku menyendiri dari hari ke hari. Diriku seperti mati dan menuju temaram. Terpejam mata ini, ku dengar suara bel rumahku berdentang. Ku bergegas untuk membukanya karena membiarkan tamu diluar pun tidak baik.
“Maafkan aku Tisa, aku mengerti maksudmu sekarang”
“Dimas..Aku sudah maafkan dirimu sejak awal karena memendam amarah hanya akan menambah dosa”
“Ya..terima kasih Tisa.. Hari ini aku bertekad untuk bertaaruf denganmu Tisa dan akan menikahimu setelah aku dan kamu lulus S2 nanti.”
“Bolehkan aku memikirkan hal itu dahulu. Aku butuh petunjuk dari Allah”
Dimas menerima permintaanku dia juga akan meminta petunjuk Allah. Malam pun tiba aku meminta petunjuk dari Allah. Ke esokan harinya datang sebuah kabar gembira aku mendapat beasiswa S2 ke Jepang hingga membuatku lupa akan Dimas. Dua tahun lamanya ku di Jepang membuahkan hasil aku lulus dengan cepat hingga membuatku kembali ke Indonesia. Di rumah ternyata aku disambut baik oleh Fita dan suaminya, dan tentunya Dimas, dia juga bersama orang tuanya.
Orang tua Dimas saat itu kembali menanyakan hal yang sama seperti yang ditanyakan Dimas dua tahun silam. Ini janjiku dahulu aku sudah lulus bagaimana aku menolak lelaki lagi dan kenapa dia terus menungguku. Akhirnya aku dan Dimas dinyatakan bertaaruf bukan pacaran. Tidak ada jalan berdua berpegang tangan dan saling memandang lebih dekat di kamusku.
Mungkin pendapat orang, aku keterlaluan atau munafik. Aku yang dulu bukan sekarang. Hijabku, jilbabku, pakaianku, riasanku, semata untuk melindungi aku dari siksa neraka, bukan untuk berpamer di masyarakat atau mempermalukan aku dengan jilbabku berpacaran di tengah kota berpegang tangan sekalipun. Karena dari gesekan di tangan mendebarkan hati, memperindah pandangan namun mendosakan jiwa dan hati.’
Setahun aku bertaaruf dengan Dimas, kegiatan sama masih di dunia pendidikan kita lakukan. Dimas bercerita bahwa dia adalah penggemarku sejak kecil. Dimas mengikuti jejakku menjadi musisi, penulis dan aktifis pendidikan. Tidak kusadari bahwa selama ini ada seseorang yang dikirimkan oleh Allah untukku. Dia menunjukan sebuah stik drum bertuliskan W&R, white rose katanya adalah aku. Aku mawar putihnya.
Mendengar itu aku tak tega bila Dimas tahu bahwa aku sudah tidak gadis lagi. Seketika itu aku memberanikan untuk jujur kepadanya. Bila jodoh dia tidak akan pergi. Aku kaget ketika ternyata Dimas sudah tahu. Dimas pun menjelaskan cinta sejati tidak akan berpaling sejak SMA, dia memilihku, dia tahu bila aku orang yang baik hanya saja masuk dalam kehidupan yang buruk.
 Akhirnya Dimas lulus S2 pendidikan di Indonesia tentunya. Seminggu kemudian kami menikah.  Benar memang akan tiba saatnya untuk jatuh cinta dan punya pasangan sehidup-semati, ketika kita benar-benar sudah siap menjalani kehidupan lebih dewasa. Dan langitku tidak seremang dahulu. Begitu cerah langitku mempunyai suami,  anak, pekerjaan dan jiwa yang tenang. Inilah langit baruku, Temaram bukanlah langitku lagi, bersyukurlah.
NAMA ASLI      : SWASTANTIKA KUMALADEFI
NAMA PENA     : SWASTIKA SOEDIRO
AKUN FACEBOOK      : http://facebook.com/swastantika
KOTA                  : KUDUS

No comments: