Melodi Cinta Metalhead
Senja telah pulang kini
adzan maghrib pun berkumandang. Maghrib adalah waktu yang sangat kusuka. Dimana
aku dan umat muslim lainnya menghadapNya. Seperti biasa aku berangkat menuju masjid untuk
menunaikan ibadah dan ku lihat di barisan depan seorang imam lebih muda seperti
Mahesa teman kerjaku melafalkan niat solat tak seperti biasa. Ibadah begitu
terasa cepat ketika hati begitu tulus dan ikhlas menjalankanya.
Para
jemaah pun kembali ke rumah masing-masing. Ku lipat rukuh dan sajadahku dan
bergegas pulang. Dari belakang seorang pemuda tak asing sepertinya musisi
rocker menabrakku. “Maaf mbak, saya buru-buru.” ujarnya. “Tadi yang menabrak seperti
Mahesa tapi, bukannya dia mengenakan baju koko
dan sarung namun, itu kok hanya kaos oblong hitam.”
Malam ini begitu indah dengan berjuta cahaya bintang
berpencar tiada bergandengan tanpa pendamping bagiku. Radio di rumah mengusik
kesepian aku hanya melamun menunggu kedatangan sahabatku Yayas. Kami hadir
kembali untuk pecinta musik keras. Mari anggukan kepalamu dan saksikanlah, parade
band di taman Puri Sari Sabtu, 24 Mei 2014 pukul 8 malam. Tiket merakyat bung! Media
Muda, 20 Mei 2014.
“Yas, pick gitarku kemana ya?” tanyaku seraya
mengubrak-abrik majalah di meja.
“Nih, ayo kita telat latihan ini” ujar Yayas
memberikan pick gitar kesayanganku. Yayas, drummer band Strong Of Dark,
sahabat, dan temen satu bandku. Ya walau kita berdua cewek, kita terkenal
dengan anak rocker. Pakaian hitam, aksesoris hitam, semua hitam kecuali badan,
badan kita putih beda dengan musisi lainnya karena kebanyakan cowok.
Suara radio di ruang tamu tak terdengar lagi, mobil
kita melaju ke studio musik seperti biasa mobil Yayas tapi aku yang nyetir. “Yas,
tadi acara yang dipubliskasikan di Media Muda tanggal berapa?”
“Eh, make up aku luntur gak?” tanya Yayas tak
menghiraukan pertanyaanku.
“Idih, balik nanya gak jelas. Mau latihan aja pakai
make up segala. Udah cantik kamu Yas” jawabku ketus.
Alunan distorsi musik keras dari radio mobil mengiringi
perjalanan menuju studio musik. Aku Dahranna, dibalik kemuslimanku, aku seorang
guru SD di pagi hari dan di malam hari seorang musisi band cukup terkenal. Aku
sangat menyukai musik keras seperti musik metal, terutama old school metal
seperti Slayer, Sepultura dan Obituary. Hampir setiap album dari grup band itu
aku miliki walau tidak komplit semuanya.
Aku mulai menyukainya saat aku mulai
beranjak remaja. Meskipun banyak orang menggangap musik metal adalah musik
setan dan banyak menyebabkan sifat orang menjadi brutal, aku tetap menyukainya.
Sebenarnya mereka itu kurang tepat medefinisikan metal itu bagaimana.
Mereka melihatnya dari segi negatifnya padahal
banyak sekali sisi positif yang dapat dicontoh. Musik metal bukanlah seperti
yang mereka pikirkan. Metal itu adalah mengajarkan tentang apa yang harus kita
perbuat melalui cara yang berbeda. Selain itu aku juga menyukai musik rock
terlebih pada grup musik yang mengandalkan tema sosial, moral dan ajakan keluar
dari aturan yang mengengkang kebebasan seperti Rancid, The Casualties serta Sex
Pistols.
Bagiku musik adalah racun sekaligus
obat penenang saat ada
masalah menumpuk di sekolah.
Sebuah tantangan hebat bagiku di dunia
pendidikan dan musik. Di satu sisi ku harus menjalani profesi yang sangat
santun namun, di sisi lain ku adalah gitaris musik keras.
Sukses
belum menjamin kebahagiaanku. Usiaku kini telah menginjak angka 27 tahun. Angka
yang sudah maksimal bagi wanita untuk menikah. Namun, belum ada lelaki yang
dapat mengambil hatiku.
“Ranna,
lagi ngelamunin apa?”
“Eh, kamu
Sa, kagak ngalamun deh.. Oya aku besuk pinjam rencana pembelajaranmu ya.. untuk
referensi..”
“Siap bu,
pulang jam rapa?”
“Sebentar
lagi, ini nunggu Yayas lagi di kamar mandi”
“Yaudah
aku pulang dulu, sampai ketemu di sekolah Dahrenna.”
“Oke pak,”
ujarku. Mahesa lelaki 2 tahun lebih tua dari aku itu adalah teman
seperjuanganku sejak SD hingga menjadi guru dan kini dia sama sepertiku seorang
gitaris. Dua puluh tahun bersama menjadi teman, Mahesa selalu mencari
kesempatan berdua denganku namun, entah kenapa aku tak bisa membuka hati
untuknya.
Pukul
sebelas malam, aku dan Yayas bergegas pulang. Bagaimana lagi untuk mencari uang
di negeri ini sangat susah kalau tidak berusaha apalagi pekerjaan tetapku hanya
sebagai guru honorer. Gaji yang lumayan untuk kebutuhan pribadi satu orang.
Hari-hariku
terlalu monoton apakah aku sudah merasakan kebosanan hidup seorang diri. Padahal
bila ku menilik lebih jauh menjadi seorang istri yang bekerja akan lebih tidak
nyaman. Ah, mungkin aku harus lebih bersyukur akan hidup ini.
“Ranna,
kenapa kamu tak menikahi Mahesa saja, dia baik kan dia sangat mencintaimu pula”
ujar Yayas seraya meminum secangkir kopi penghapus kantuk di minggu pagi.
“Kalau dia
mencintaiku kenapa dia tak pernah menyatakannya, hanya mengikuti kegiatanku
selalu. Aku membencinya Yas, karena dia yang diangkat menjadi PNS bukan aku dan
harusnya itu aku.”
“Rejeki
orang kan berbeda-beda. Oya nih undangan pernikahanku...Aku tak mau terlalu tua
menjadi wanita sebatang kara”
“Kamu
menghinaku ya...” ucapku dengan manyun.
Mungkinkah
benar Mahesa adalah jodohku. Aku tak ingin meminta lebih untuk kesempurnaan jodohku
asal dia tidak pernah mengekangku saja. Siang ini kata Ibu, anak temannya akan
melamarku. Siti Nurbaya kah ini haruskah aku menerima perjodohan bagaimana
dengan Mahesa. Apa yang akan dia rasakan kalau tahu aku akan dilamar sesorang.
Hari ini menjelang acara lamaran aku berpakaian lebih rapi tak seperti
pakaianku sehari-hari.
“Assalamualaikum”.
Beberapa orang di depan rumahku mengucapkan salam.
“Waalaikumsalam”.
Semua
orang berkumpul, seorang pemuda tak
kukenal mengutarakan maksud dan tujuannya. Dia, Bayu seorang pegawai
pemerintahan. Mendapat seorang yang mapan adalah anugrah bagi wanita yang dapat
disyukuri. Namun, satu yang mengganjal dibenakku hingga ku menunda acara penerimaan
lamaran tersebut. Bayu menginginkan ku tidak lagi bekerja menjadi guru dan
menjauhi dunia musik kerasku. Alasan itu membuatku ingin berfikir lebih matang
harus atau tidak harus.
Sepulang
Bayu dan keluarganya, Mahesa datang ke rumah dan menyatakan cintanya. Ternyata
seorang Mahesa menyukaiku sejak SD dan mulai mencintaiku sejak SMA. “Kenapa
kamu tak pernah menyatakannya sebelum ini Sa, kamu kan tahu aku bukan wanita
yang suka pilih-pilih.”
“Aku belum
siap Ranna, dulu aku belum mempunyai penghasilan dan aku pun tidak ingin
membebani ke dua orang tuaku.”
“Terlambat
Sa, aku sudah dilamar orang.” Ujarku seraya berdiri dan
meninggalkannya. Aku tipe wanita yang tidak ingin menyakiti orang, walau aku
suka musik keras dan katanya musik keras identik dengan kekerasan, penindasan
dan sebagainya.
Sebulan kemudian di sekolah tak kulihat Mahesa di
ruang guru atau pun di kelasnya. Ku berfikir apa mungkin dia keluar dari
pekerjaannya karena yang aku tahu dia berkerja karena aku dan waktu
kemarin-kemarin aku selalu menghindarinya. Mengapa jadi seperti kehilangan.
Waktu berjalan begitu lama, siang ini matahari begitu panas. Anak-anak muridku
hanya menambah kesal bila mengobrol sendiri di kelas. Bel pulang sekolah
berbunyi setelah merapikan buku di kantor segera kutancap gas mobilku ke rumah
Yayas.
Yayas sebagai ibu rumah tangga sekarang kurasa dia
bahagia. Yayas mempunyai lelaki yang sama dengan hobinya bermain musik. Kini
mereka pun memiliki studio musik bersama. Apa aku tidak bisa seperti mereka
bahagia pasti yang kurasakan. Tapi Bayu, aku hanya menghela nafas.
“Bagaimana lamaranmu dengan Bayu, Rann” tanya Yayas
mengawali percakapan di rumahnya.
“Bingung Yas, sekarang aku merasa sangat kehilangan
Mahesa.”
“Begitu? Kamu mencintainya sekarang? Sekarang ini
adalah konflikmu dengan hatimu. Oya, Aku sudah tidak mendengar kabar Mahesa di
studio kita biasa nongkrong. Kata suamiku bandnya akan tour keliling kota
selama seminggu ini”
“Terus bagaimana pekerjaannya?”
“Ya, mana ku tahu Ranna, kan kamu yang satu sekolah”
Aku hanya diam mengangguk, merasakan kehilangan yang
berlebih. Aku tahu ini salahku yang tidak pernah memandang kebaikan dan
ketulusannya. Di bawah langit temaram,aku begitu merindukan sosok Mahesa.
TO BE CON. .
.
No comments:
Post a Comment