Friday, October 10, 2014

CERPEN Swastisoed - Sikhandini Ingin Menuju Langit Temaram

Ibu dan Mbak Diah bergegas ke gedung kejuruan dimana Sikhandini belajar. Beberapa siswa masuk ke sebuah ruangan setelah menerima banyak sambutan dan ceramah. Bapak memutuskan untuk membeli rokok dan sekedar minum kopi di luar gedung tua tersebut. Suasana panas dan begitu sesak karena banyak orang memperebutkan oksigen sedangkan ibu dan mbak Diah hanya menunggu di kursi lobi.
“Panasnya bukan main, kiamat sudah dekat ini bu,”
“Hus, bapak. Ya sudah tunggu di luar saja sana.”
“Diah, nanti kalau Sikhandini keluar bapak SMS saja. Bapak ngopi dulu ya bu.” 
Mbak Diah hanya melirik kelakuan bapaknya yang tidak sabaran. Margono, namanya. Lelaki yang sudah berwajah keriput penuh keringat kerja keras itu sangat menyayangi ketiga anaknya. Biasanya, dengan sekedar guyonan kasih sayang bukan dengan uang jajan, baju dan sepatu bermerk.
Menanti, begitu pun semua orang seperti terperangkap waktu. Teman-teman Sikhandini telah keluar dengan raut wajah gembira. Giliran Sikhandini keluar, namun wajahnya begitu sedih membuat ibu dan bapak harap cemas menghampirinya. Sikhandini mengungkapkan kesedihannya, walaupun lulus dengan nilai terbaik Sikhandini masih terikat hutang uang pembangunan. Ibu dan mbak Diah pun memeluk wanita hampir dewasa itu.
Sikhandini adalah putri kedua dari tiga bersaudara bapak dan ibu Margono yang berkerja sebagai wiraswasta kecil. Kemandiriannya sudah terlihat sejak SMP dengan menjual baju, stiker, dan jajan pasar di kelas. Uang jajan dari orang tuanya tidak pernah diterima Sikhandini dan kedua saudaranya.
Bapak Sudarmo kepala sekolah kejuruan datang menghampiri kami dengan wajah geramnya. Setelah mengucapkan selamat kepada Sikhandini, pak Sudarmo memberikan kwitansi pembayaran pelunasan uang gedung. Nilai yang diperoleh Sikhandini membebaskan Sikhandini dari hutang piutang dengan sekolah. Seorang bapak lagi perawakan tua mendatangi Sikhandini dan bapak ternyata teman bapak, Sulikan, namanya.
Sulikan mengucapkan selamat, sama seperti anaknya teman Sikhandini lulus dan akan melanjutkan ke jenjang lebih tinggi. Gengsi sepertinya merasuk dalam jiwa bapak. Di depan temannya pun mengatakan akan menguliahkan Sikhandini. Margono memang orang berada dulu, sebelum bangkrut dan ditinggal mati oleh kedua orang tuanya.
Baginya menguliahkan anaknya adalah kewajibannya karena dulu Margono pun juga kuliah hingga sarjana. Walaupun kini uangnya seret, Margono hanya ingin anaknya sukses. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa Margono hanya gengsi belaka.
Keesokan harinya, benar kemudian Sikhandini bersama teman-teman mendaftar di sebuah universitas besar. Sikhandini dengan kecerdasannya telah dinyatakan lolos seleksi dan membayar uang DP sebesar satu juta. Margono berhasil meminjam uang temannya alias hutang.
Menanti hari awal masuk ke pendidikan tinggi, Sikhandini bekerja menghitung uang masuk dan keluar di sebuah perusahaan. Kontrak bekerja dilaksanakan hampir 3 bulan lamanya. Gaji yang diperolehnya hampir setengah cukup untuk biaya kuliah pertamanya. Rasa senang menyirami hati Sikhandini setiap waktu hasil kerja kerasnya dapat menguliahkan dirinya. Namun, hal itu tak berjalan lama.  
Susi, adik Sikhandini yang hanya suka bermain dan pacaran akhirnya kesusahan mencari sekolah berlogo pemerintahan. Bila memungkinkan di swasta, bapak tidak mampu membiayai total. Apalagi jenjang tinggi yang akan ditempuh Sikhandini dan mbak Diah.
“Sikhandini, bapak pinjam tabunganmu sebentar nanti bapak kembalikan setelah lebaran.”
“Tapi, pak...”
“Adikmu Susi, butuh banyak biaya untuk sekolah.”
“Tapi pak,”
“Tapi, kenapa lagi? Kamu itu jangan pelit orang kamu kuliah setelah lebaran kan? Bantu adikmu!” bentak Margono.
“Itu kan salah sendiri, sudah tidak mau belajar, pacaran melulu, bantu ibu jualan saja tidak mau. Kenapa tidak tabungan mbak Diah pak?”
“Iya, mbak Diah setengah kamu setengah. Bapak lagi pusing ini. Paham kan?”
“Iya, pak...”
“Nah, begitu...”
Berlari sejauh mungkin, begitulah pelampiasan kesal yang membuat hati ini merasa begitu lega. Walaupun itu hanya sebentar. Bagi Sikhandini, berita dari bapak selalu mengorek kupingnya.
“Tahun ini kamu belajar di rumah dulu. Mbak dan adikmu saja yang melanjutkan pendidikan.”
“Bapak, tidakkah sayang Sikhandini?”
“Bukan seperti itu, hanya saja waktu ini terlalu berat untuk menyeimbangkan.”
“Ya, sudah Sikhandini bekerja saja. Di rumah tidak ada untungnya.”
“Mau kerja dimana? Manusia tidak ada yang benar sekarang ini. Kejujurannya sangat diragukan. Kamu di rumah saja.”
“Tapi, aku butuh uang pak! Bapak saja tidak pernah memberi uang kecuali untuk kebutuhan rumah ibu dan keperluan sekolah itupun tidak seluruhnya. Mbak Diah dan aku selalu dapat beasiswa. Aku ingin beli baju dan sepatu seperti teman-teman.”
Margono diam saja dan pergi. Sebenarnya, Sikhandini mengerti benar keadaan bapaknya. Namun, kabar buruk itu masih saja mengganjal di hatinya. Mungkin saja cemooh dari teman-teman dapat menguatkan hati Sikhandini. Berkerja lebih baik daripada di rumah itu sedikit motivasi hidup Sikhandini. Kontrak pekerjaan hanya berjalan tiga bulan. Selebihnya hari-hari Sikhandini membara seperti neraka.
“Sikhandini, ayo ikut mbak!”
“Kemana mbak?”
“Mencari yang berguna”
Mbak Diah mengajak Sikhandini ke kantor POS untuk mencari lowongan perkerjaan perusahaan-perusahaan yang ditempel di depan majalah dinding. Selesai mencari tulisan-tulisan berguna, Sikhandini memutuskan untuk berdiam diri di stasiun kereta kota.
“Ayo mbak Diah, sekarang giliran aku mengajak mbak Diah.”
“Ke stasiun?”
“Ya, tidak ada yang lebih nyaring lagi daripada si kereta berjalan dan suara orang-orang berjualan”
“Baiklah,”
Di stasiun kereta si mas berperawakan kampungan sibuk menjajakan korannya. Aku dan Sikhandini duduk, saling berpandangan menghela nafas.
“Bagaimana aku mengatakan hal ini kepada teman-temanku mbak”
“Hujan dek, hujan..”
“Kita kan di dalam stasiun mbak, sedang duduk juga kenapa panik. Mbak Diah mengalihkan pembicaraan, ya?”
“Hahahaa...”
“Ada yang lucu ya mbak?”
“Tidak. Sikhandini, mungkin memang tahun ini kamu harus istirahat di rumah dulu, Mbak janji, beberapa bulan lagi mbak akan wisudha dan melamar menjadi PNS, mbak kerja keras untuk kuliah kamu dan Susi nantinya.”
“Masih lama mbak...”
“Kamu tidak percaya kepada Allah?”
“Percaya mbak...”
“Dek, air mata hujan tidak akan membasahi bumi setiap hari, sederas-derasnya hujan pasti ada titik terangnya dimana bumi kembali bersinar dan hijaunya berkilau dimana-mana.”
“Cangcimen...cangcimennya mbak?” Suara lantang perempuan kecil memecah suasana tegang Sikhandini dan mbak Diah.
“Tidak! Terima kasih.” teriak Sikhandini.
“Jangan! Dek cangcimen, kembalilah! Saya beli kwaci yang 2, ini kembaliannya ambil saja.”
“Mbak terlalu baik, uang kita saja pas-pas.”
“Kamu tidak percaya kepada Allah?”
“Percaya mbak...sudah jangan diulang terus. Sudah sore hujannya belum berhenti”
“Mungkin nanti di waktu senja dek...”
“Kapan langit temaram ada untukku mbak” lirih Sikhandini.
“Temaram? Langit cerah pun akan ada untuk makhluk Allah.”
“Aku hanya tidak ingin seinstan itu mbak, semua butuh proses. Aku akan menunggu langit temaramku datang”
Mbak Diah tetap tidak mengerti apa yang dipikirkan adiknya. Sebagai Mbakyu, Diah sudah menyiapkan kejutan tabungan lebih untuk adiknya. Bagi Sikhandini, hidup sudah sangat lelah, Sikhandini hanya menanti langit impiannya. Langit temaram di ujung usiannya, dimana dukanya akan berakhir ketika itu. Hanya suka dan suka yang akan dirasakan Sikhandini di kehidupan abadi manusia, Nirwana. Kurang bersyukur itulah Sikhandini.atau memang Sikhandini telah menerima pertanda dari Sang Pencipta bahwa dirinya harus pulang di usia muda.

Swastantika Kumala Devi. Mahasiswi PGSD FKIP UMK angkatan 2012

No comments: