Ibu dan Mbak Diah bergegas ke gedung kejuruan dimana Sikhandini belajar. Beberapa siswa masuk ke
sebuah ruangan setelah menerima banyak sambutan dan ceramah. Bapak memutuskan
untuk membeli rokok dan sekedar minum kopi di luar gedung tua tersebut. Suasana
panas dan begitu sesak karena banyak orang memperebutkan oksigen sedangkan ibu
dan mbak Diah hanya menunggu di kursi lobi.
“Panasnya bukan
main, kiamat sudah dekat ini bu,”
“Hus, bapak. Ya
sudah tunggu di luar saja sana.”
“Diah, nanti kalau
Sikhandini keluar bapak SMS saja. Bapak ngopi dulu ya bu.”
Mbak Diah hanya melirik kelakuan bapaknya yang tidak sabaran. Margono, namanya. Lelaki yang sudah berwajah keriput penuh keringat kerja keras itu sangat menyayangi ketiga anaknya. Biasanya, dengan sekedar guyonan kasih sayang bukan dengan uang jajan, baju dan sepatu bermerk.
Mbak Diah hanya melirik kelakuan bapaknya yang tidak sabaran. Margono, namanya. Lelaki yang sudah berwajah keriput penuh keringat kerja keras itu sangat menyayangi ketiga anaknya. Biasanya, dengan sekedar guyonan kasih sayang bukan dengan uang jajan, baju dan sepatu bermerk.
Menanti, begitu pun
semua orang seperti terperangkap waktu. Teman-teman Sikhandini telah keluar
dengan raut wajah gembira. Giliran Sikhandini keluar, namun wajahnya begitu
sedih membuat ibu dan bapak harap cemas menghampirinya. Sikhandini
mengungkapkan kesedihannya, walaupun lulus dengan nilai terbaik Sikhandini
masih terikat hutang uang pembangunan. Ibu dan mbak Diah pun memeluk wanita
hampir dewasa itu.
Sikhandini adalah
putri kedua dari tiga bersaudara bapak dan ibu Margono yang berkerja sebagai
wiraswasta kecil. Kemandiriannya sudah terlihat sejak SMP dengan menjual baju,
stiker, dan jajan pasar di kelas. Uang jajan dari orang tuanya tidak pernah
diterima Sikhandini dan kedua saudaranya.
Bapak Sudarmo
kepala sekolah kejuruan datang menghampiri kami dengan wajah geramnya. Setelah
mengucapkan selamat kepada Sikhandini, pak Sudarmo memberikan kwitansi
pembayaran pelunasan uang gedung. Nilai yang diperoleh Sikhandini membebaskan Sikhandini
dari hutang piutang dengan sekolah. Seorang bapak lagi perawakan tua mendatangi
Sikhandini dan bapak ternyata teman bapak, Sulikan, namanya.
Sulikan mengucapkan
selamat, sama seperti anaknya teman Sikhandini lulus dan akan melanjutkan ke
jenjang lebih tinggi. Gengsi sepertinya merasuk dalam jiwa bapak. Di depan
temannya pun mengatakan akan menguliahkan Sikhandini. Margono memang orang
berada dulu, sebelum bangkrut dan ditinggal mati oleh kedua orang tuanya.
Baginya
menguliahkan anaknya adalah kewajibannya karena dulu Margono pun juga kuliah
hingga sarjana. Walaupun kini uangnya seret, Margono hanya ingin anaknya
sukses. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa Margono hanya gengsi belaka.
Keesokan harinya,
benar kemudian Sikhandini bersama teman-teman mendaftar di sebuah universitas
besar. Sikhandini dengan kecerdasannya telah dinyatakan lolos seleksi dan
membayar uang DP sebesar satu juta. Margono berhasil meminjam uang temannya
alias hutang.
Menanti hari awal
masuk ke pendidikan tinggi, Sikhandini bekerja menghitung uang masuk dan keluar
di sebuah perusahaan. Kontrak bekerja dilaksanakan hampir 3 bulan lamanya. Gaji
yang diperolehnya hampir setengah cukup untuk biaya kuliah pertamanya. Rasa
senang menyirami hati Sikhandini setiap waktu hasil kerja kerasnya dapat
menguliahkan dirinya. Namun, hal itu tak berjalan lama.
Susi, adik
Sikhandini yang hanya suka bermain dan pacaran akhirnya kesusahan mencari
sekolah berlogo pemerintahan. Bila memungkinkan di swasta, bapak tidak mampu
membiayai total. Apalagi jenjang tinggi yang akan ditempuh Sikhandini dan mbak
Diah.
“Sikhandini, bapak
pinjam tabunganmu sebentar nanti bapak kembalikan setelah lebaran.”
“Tapi, pak...”
“Adikmu Susi, butuh
banyak biaya untuk sekolah.”
“Tapi pak,”
“Tapi, kenapa lagi?
Kamu itu jangan pelit orang kamu kuliah setelah lebaran kan? Bantu adikmu!”
bentak Margono.
“Itu kan salah
sendiri, sudah tidak mau belajar, pacaran melulu, bantu ibu jualan saja tidak
mau. Kenapa tidak tabungan mbak Diah pak?”
“Iya, mbak Diah
setengah kamu setengah. Bapak lagi pusing ini. Paham kan?”
“Iya, pak...”
“Nah, begitu...”
Berlari sejauh
mungkin, begitulah pelampiasan kesal yang membuat hati ini merasa begitu lega.
Walaupun itu hanya sebentar. Bagi Sikhandini, berita dari bapak selalu mengorek
kupingnya.
“Tahun ini kamu
belajar di rumah dulu. Mbak dan adikmu saja yang melanjutkan pendidikan.”
“Bapak, tidakkah
sayang Sikhandini?”
“Bukan seperti itu,
hanya saja waktu ini terlalu berat untuk menyeimbangkan.”
“Ya, sudah
Sikhandini bekerja saja. Di rumah tidak ada untungnya.”
“Mau kerja dimana?
Manusia tidak ada yang benar sekarang ini. Kejujurannya sangat diragukan. Kamu
di rumah saja.”
“Tapi, aku butuh
uang pak! Bapak saja tidak pernah memberi uang kecuali untuk kebutuhan rumah
ibu dan keperluan sekolah itupun tidak seluruhnya. Mbak Diah dan aku selalu
dapat beasiswa. Aku ingin beli baju dan sepatu seperti teman-teman.”
Margono diam saja
dan pergi. Sebenarnya, Sikhandini mengerti benar keadaan bapaknya. Namun, kabar
buruk itu masih saja mengganjal di hatinya. Mungkin saja cemooh dari teman-teman
dapat menguatkan hati Sikhandini. Berkerja lebih baik daripada di rumah itu
sedikit motivasi hidup Sikhandini. Kontrak pekerjaan hanya berjalan tiga bulan.
Selebihnya hari-hari Sikhandini membara seperti neraka.
“Sikhandini, ayo
ikut mbak!”
“Kemana mbak?”
“Mencari yang
berguna”
Mbak Diah mengajak
Sikhandini ke kantor POS untuk mencari lowongan perkerjaan perusahaan-perusahaan
yang ditempel di depan majalah dinding. Selesai mencari tulisan-tulisan
berguna, Sikhandini memutuskan untuk berdiam diri di stasiun kereta kota.
“Ayo mbak Diah,
sekarang giliran aku mengajak mbak Diah.”
“Ke stasiun?”
“Ya, tidak ada yang
lebih nyaring lagi daripada si kereta berjalan dan suara orang-orang berjualan”
“Baiklah,”
Di stasiun kereta
si mas berperawakan kampungan sibuk menjajakan korannya. Aku dan Sikhandini duduk,
saling berpandangan menghela nafas.
“Bagaimana aku
mengatakan hal ini kepada teman-temanku mbak”
“Hujan dek, hujan..”
“Kita kan di dalam
stasiun mbak, sedang duduk juga kenapa panik. Mbak Diah mengalihkan pembicaraan,
ya?”
“Hahahaa...”
“Ada yang lucu ya
mbak?”
“Tidak. Sikhandini,
mungkin memang tahun ini kamu harus istirahat di rumah dulu, Mbak janji,
beberapa bulan lagi mbak akan wisudha dan melamar menjadi PNS, mbak kerja keras
untuk kuliah kamu dan Susi nantinya.”
“Masih lama
mbak...”
“Kamu tidak percaya
kepada Allah?”
“Percaya mbak...”
“Dek, air mata
hujan tidak akan membasahi bumi setiap hari, sederas-derasnya hujan pasti ada
titik terangnya dimana bumi kembali bersinar dan hijaunya berkilau
dimana-mana.”
“Cangcimen...cangcimennya
mbak?” Suara lantang perempuan kecil memecah suasana tegang Sikhandini dan mbak
Diah.
“Tidak! Terima
kasih.” teriak Sikhandini.
“Jangan! Dek
cangcimen, kembalilah! Saya beli kwaci yang 2, ini kembaliannya ambil saja.”
“Mbak terlalu baik,
uang kita saja pas-pas.”
“Kamu tidak percaya
kepada Allah?”
“Percaya
mbak...sudah jangan diulang terus. Sudah sore hujannya belum berhenti”
“Mungkin nanti di
waktu senja dek...”
“Kapan langit
temaram ada untukku mbak” lirih Sikhandini.
“Temaram? Langit
cerah pun akan ada untuk makhluk Allah.”
“Aku hanya tidak
ingin seinstan itu mbak, semua butuh proses. Aku akan menunggu langit temaramku
datang”
Mbak Diah tetap
tidak mengerti apa yang dipikirkan adiknya. Sebagai Mbakyu, Diah sudah
menyiapkan kejutan tabungan lebih untuk adiknya. Bagi Sikhandini, hidup sudah
sangat lelah, Sikhandini hanya menanti langit impiannya. Langit temaram di
ujung usiannya, dimana dukanya akan berakhir ketika itu. Hanya suka dan suka
yang akan dirasakan Sikhandini di kehidupan abadi manusia, Nirwana. Kurang
bersyukur itulah Sikhandini.atau memang Sikhandini telah menerima pertanda dari
Sang Pencipta bahwa dirinya harus pulang di usia muda.
Swastantika Kumala
Devi. Mahasiswi PGSD FKIP UMK angkatan 2012
No comments:
Post a Comment