Perjalanan kini menuju ke utara kota Kabupaten Kota Kudus tepatnya di
daerah kecamatan Gebog. Terdapat kebudayaan dan mitos yang kental serta folklor
di daerah pemukiman warga sebelah utara kota Kudus. Jalan berliku menanjak dan
panjang sudah dipastikan adalah daerah gunung. Benar udara dingin di siang hari
pun membangunkan bulu-bulu di anggota tubuh. Memasuki gapura Selamat Datang Di
Desa Rahtawu adalah kebahagiaan tersendiri dapat menikmati pemandangan gunung
yang menjulang dan dibawahnya terdapat berhektar sawah milik warga. Sunyi,
dingin, dan segar di waktu siang adalah perasaan yang akan dirasakan warga
ataupun pengunjung.
Rahtawu
merupakan sebuah nama desa
yang berada di kecamatan
Gebog,
Kudus,
Jawa Tengah,
Indonesia.
Rahtawu terletak di daerah paling atas dari Kecamatan Gebog, Kudus. Desa
Rahtawu ini terdiri dari sebuah lembah hijau yang dikelilingi bukit-bukit
terjal. Kehidupan masyarakatnya sebagian besar adalah petani. Padi dan kopi
merupakan komoditas unggulan. Di desa Rahtawu juga memiliki potensi wisata yang
sangat menarik. Di kawasan ini, dengan ketinggian ± 1.627 m dari permukaan air
laut, pengunjung dapat menikmati panorama alam pegunungan yang asri dan indah
mempesona dengan udara yang bersih, segar dan sejuk.
Letak geografis
desa Rahtawu sendiri seharusnya bisa menarik minat masyarakat untuk melakukan
wisata. Bagi para pecinta alam (penjelajahan alam, hiking, dll.) dapat
menyusuri jalan setapak menjelajahi medan pegunungan Rahtawu untuk menaklukkan
puncak gunung wukir yang disebut dengan puncak Songo Likur. Selain itu, di
kawasan itu juga terdapat mata air sungai yang cukup besar di Kudus, yaitu mata
air Kali Gelis yang biasanya disebut sungai Serang. Desa Rahtawu memiliki
banyak peninggalan kuno yang bersifat mistis salah satunya banyaknya bukti
petilasan seperti petilasan Eyang Sakri, Lokajaya, Pandu, Palasara, Abiyoso
hingga eyang Semar.
Menurut juru kunci petilasan Eyang Sakri, nama
Rahtawu sudah ada sejak zaman nenek moyang (zaman kadewan) dan belum ada
seorangpun yang menceritakan asal muasal
nama Desa tersebut. Sedangkan menurut masyarakat setempat nama Rahtawu berarti
darah yang mengalir. Pada jaman dahulu, konon pada saat istri Sakri melahirkan
seorang anak laki-lakinya yang diberi nama Abiyoso itu banyak mengeluarkan
darah bahkan tidak bisa di hentikan, sehingga darah keluar bagai aliran air.
Sehingga saat itu sakri yang sekarang dikenal
Eyang Sakri memberi nama desa tersebut RahTawu ( yaitu darah keluar yang
banyak dan sampai ditawu ).
Desa Rahtawu
dulunya adalah daerah gunung yang bertelaga
yang disebut Wukir Rehtawu. Wukir Rehtawu merupakan salah satu nama
puncak pada deretan pegunungan yang tinggi dan luas di Jawa Tengah. Deretan
pegunungan itu disebut Sapta Arga. Bukti dari gunung yang bertelaga tersebut
adalah ditemukannya fosil-fosil tulang ikan purba, batu karang yang besar dan
tanah liat di seluruh pelataran desa ini. Banyak para dewa yang bersemedi di
Wukir Rehtawu, setelah perubahan zaman dari masyarakat beragama Hindu hingga
Islam masyarakat pun memilih bertempat tinggal di daerah Wukir Rehtawu. Dari
satu per satu warga hingga ratusan kini yang bermukim dulunya membabati hutan
dan menjadikannya daerah pemukiman warga. Semakin banyaknya warga maka
dijadikanlah sebuah desa dengan nama Rahtawu.
Masyarakat desa
rahtawu mempercayai bahwa adanya mitos yang beredar secara turun menurun yakni
larangan menanggap wayang. Wayang merupakan salah satu kebudayaan di Indonesia
untuk meneladani sifat para tokoh dewa. Wayang di Indonesia ditampilkan ketika
seorang punya hajat. Namun berbeda dengan masyarakat desa Rahtawu jika
masyarakat melanggar tabu dengan menanggap wayang di daerah Rahtawu akan
berakibat bencana yang dapat membahayakan masyarakat khususnya bagi dalang yang
menanggap wayang tersebut. Musibah tersebut biasanya berupa penyakit aneh yang
tidak dapat disembuhkan dan angin besar yang dapat membahayakan masyarakat
setempat. Hal ini pun pernah terjadi sebelum abad modern kita dalangnya
dikabarkan hilang.
Masyarakat
menganggap bahwa para dewa yang dimainkan oleh dalang lewat pagelaran wayang
tersebut marah. Dengan adanya mitos tersebut masyarakat desa rahtawu jika
mempunyai khajat lebih memilih menanggap tayub atau jogetan tradisional di
daerah pantura Jawa Tengah. Budaya yang sanggat kental di masyarakat setempat
adalah doa bersama setiap tanggal 1 suro yang bertujuan untuk memanjatkan doa
kepada Tuhan dan minta keselamatan agar hasil bumi lebih banyak dari tahun
lalu.
Di Rahtawu
pengaruh peradaban Hindu, Buddha dan Islam tidak nampak jelas. Tidak ada jejak
berupa bangunan peribadatan (candi) Hindu dan Buddha. Bahkan tidak ada arca
maupun ornamen bangunan yang terbuat dari batu berukir sebagaimana ditemukan di
Dieng, Trowulan, Lawu, dan tempat-tempat lainnya di Jawa. Nilai budaya yang
dapat kita ambil untuk sikap dan pribadi kita dari folklore desa Rahtawu adalah nilai religius
untuk selalu bersyukur kepada Allah dengan memanjatkan doa, nilai peduli lingkungan dan komunikatif sosial.
Dalam
nilai karakter budaya folklor Rahtawu yang dapat diaplikasikan ke dalam
kepribadian seorang guru adalah
- Nilai
Toleransi, bahwasannya kita sebagai guru harus memiliki sikap dan kepribadian
toleran terhadap anak didik, sesama guru dan masyarakat seperti halnya
toleransi yang dimiliki antar masyarakat rahtawu yang memiliki perbedaan
keyakinan (antara masyarakat yang beragama islam dengan masyarakat yang
beragama hindu).
- Nilai
kreatif, bahwasannya kita sebagai guru harus memiliki sikap kreatif dalam
menciptakan sesuatu dalam pembelajaran, seperti halnya masyarakat Rahtawu yang
mempunyai alternatif lain untuk menggantikan pargelaran wayang dengan
menampilkan kebudayaan tayub.
- Nilai
religius, sebagai guru adalah kewajiban untuk memiliki sikap religius seperti Berdoa
sebelum dan sesudah pelajaran, berikan kesempatan kepada semua peserta didik untuk
melaksanakan ibadah, Shodaqoh/ amal, seperti halnya masyarakat Rahtawu
yang memiliki sifat religius yang tinggi dimana masyarakatnya masih kental
sekali dengan kepercayaan animisme dan dinamismenya.