Wednesday, September 17, 2014

Puisi Swastisoed - Huru Hara Pendidikan

Indonesia sepertinya menyusun rapi
Beberapa pelindung berjalan ke depan
Setidaknya bukan hanya mengurai mimpi
Mencipta si teladan aktif untuk pendidikan

Mereka berjeans belum terbangun menyaran
Raksasa raksasa botak terus mengisi air tak menghenti
Berharap perubahan apik pada entitas pendidikan
Sepantasanya kurikulum pun dicipta bersiap lain mengganti

Abad 21 mengawali pergeseran paradigma belajar
Anak dikata aike bukan menunggu matang berbuih
Merah putih kecil pun tak lagi berdiri menanti fajar
Semisal mereka bisa, bintang dilangit kan diraih

Monday, September 15, 2014

Kenangan Dusta

Seharian penuh wanita yang dikenal sibuk mondar-mandir di kampus swasta itu pun lebih memilih menyendiri di gudang rumah. Maju mundur menerbangkan debu. Sejenak membuka beberapa album foto 20 tahun yang lalu. Wanita itu hanya cengingisan, menutup album dan menyisihkannya. Beberapa debu besar dan sarang menjadikan tangan dan wajah polos wanita itu tempat bersemayam. 
"Aku kira kamu kuliah kak...." ujar Mela yang berdiri di balik pintu.
"Bantuin gih...."  jawabnya dengan tetap sibuk mengubak-abik dos besar.
Bunyi dering dari BB mengusik kelelahan yang menimpanya. Kuliah ternyata dimajukan oleh dosen. Sekedar mengumpat karena dia belum juga mandi dan sarapan. Mengambil beberapa album lalu keluar dari ruangan.  Tak seperti wanita lainnya yang keterlaluan dandan sebelum ngampus, dia hanya merapikan jilbab merah kesayangannya. Waktu yang dia butuhkan pun berkisar tiga detik saja.
"Ma....aku kuliah..." teriaknya karena mamahnya masih di dalam kamar tak kunjung keluar.
 "Sarapan dulu kak..."
Dia tak menggubris permintaan mamahnya, karena yang dia tahu di atas meja hanya ada lodeh. Sesampai di kampus, beberapa sahabatnya menarik tangan panjang si wanita. Shofa, Osy, Zidni dan Reza mungkin saja rindu dengannya. Setengah tahun yang lalu, dia memang memutuskan untuk tidak satu kelas lagi dengan ke 6 sahabatnya. Dia hanya tidak ingin mengganggu hubungan percintaan sahabatnya. Kerap beberapa teman selalu memojokan Zidni dengannya bukan dengan kekasih yang sungguhan. Tapi, hebatnnya persahabatan mereka semua tetap berjalan.

Wanita itu menolak bukan karena tak rindu tapi berbeda kelas berbeda makul juga. Pukul 12.40, selesai sudah 1 makul saja. Kebiasaan dosen tidak teratur dengan jadwalnya semakin membuat dia malas berangkat. Tapi, mau bagaimana lagi. 
"Didik kemana sih..."
Beberapa kali dia melirik hape satu miliknya yang sudah jadul. Seseorang yang sedang dia tunggu kabarnya sudah seminggu tidak memberi kabar. Orang yang selalu memanggilnya "dek" itu barangkali sibuk mempersiapkan seminar biologi besarnya. Maklum kampus negeri, berbeda jauh dengan milik si wanita. Apa bedanya seharunya kalau sayang pasti kangen. Tapi mereka pun bukan anak kecil lagi. Usia mereka sudah 20 tahun. Apa harus kangen-kangenan lagi atau haruskah marah. Tapi apa juga statusnya, berpacaran pun tidak. Aneh memang, wanita itu sudah setahun memilih sendiri. Namun, keberadaan Didik membuatnya di istimewakan lagi. Itu pun kalau dia ingat bahwa dia telah menolak cinta Didik. Jadi, kalau Didik pergi memang salah si wanita.

Udara panas membuatnya ingin segera pulang. Namun pembagian tugas kelompok belum juga kelar. Sesekali wanita itu melirik lelaki paling tua umurnya di kelas itu. Lelaki yang aneh namun memiliki kharismatik tersendiri. Tak lama barisan nama terpampang di papan tulis. Setelah memperhatikan nama-nama anggota kelompok dia memutuskan bergegas ke parkiran. Di rumah, wanita itu langsung merebahkan tubuhnnya. Hari yang lelah membuatnya tergeletak dan pulas. 

Beberapa BB miliknya berdering. Namun, alam mimpi menghalaunya untuk pergi dan tetap pulas. Di sana banyak anak-anak kecil yang sedang bermain. Semuannya laki-laki. Bukan, masih ada satu perempuan walau potongan rambutnya seperti lelaki. Mereka semua seperti tak asing. Terdengar ada suara khas yang memanggilnya dengan sebutan kakak. Panggilannya sejak kecil. Terlihat anak perempuan kecil itu jatuh dan tertinggal oleh beberapa teman mainnya. Ingin rasanya menolong tapi suara yang memanggil pun membangunkannya.
"Mandi kak...." kata Ibuk.
Mata yang terasa di beri lem itu akhirnya terbuka. Ada perasaan aneh yang mengganjal. Wanita itu pun mandi setelah melakukan rutinitasnya sebagai anak perempuan di rumah. Mengambil album biru dan secangkir kopi. Wanita menuju ke teras rumah. 

Memandang jauh langit senja. Langit dambaannya. Kerap lirih tawanya mengundang angin ketika dia memulai membuka album biru itu. Banyak foto-foto masa kecilnya. Sedikit banyak dia merindukan sosok Bagas dan Ogi. Anak kembar tetangga masa kecilnya. Dari kecil kebanyakan temannya adalah berbeda lawan jenis. Namun, kenangan itu tak bisa diingat lagi. Ketika Ogi harus pergi dengan malaikatnya dan Bagas marah karena kembarannya pergi. Dan siapa yang disalahkan, atau semua itu hanya dusta anak kecil.

Beberapa hari yang lalu si wanita tidak sengaja berpapasan dengan Bagas di jalan. Sudah 12 tahun lamanya tidak bertemu padahal jarak rumah tidak hampir 20 meter saja. Apa Bagas masih marah dengannya atau sekedar malu bertemu lawan jenis yang tidak pernah berbicara lagi. Padahal Ibu Bagas setiap hari selalu mengira wanita itu adalah Ogi, anaknya yang seharusnya sudah tumbuh besar

Semasa kecil, Bagas sudah seperti abang baginya walau hanya berbeda 1 tahun, dan Ogi sudah menjadi bagian dari hidupnya. Namun kejadian 13 tahun yang lalu yang membuat mereka bungkam dengan kehidupan. Sedikit tetes air mata membasahi album.
"Seharusnya Ogi mengaji dan aku menjaganya"
"Atau Bagas yang seharusnya tidak memarahi Ogi sejak darah itu keluar membasahi kepala si adik"
Siapa yang harus bicara atau bungkam saja. Tapi wanita itu benar rindu masa-masa kebersamaan di taman belakang rumah. Tetangganya, teman sepermainan waktu kecil.

Wednesday, September 10, 2014

Sebuah Delima

1st
Oh, Junjou Shugiku
Maafkan aku,
Sampai kapan itu, matahari dan bulan kan saling mengejar di barat senja
Makhluk langit berteriak, berupaya pulang segera
Sayap-sayap pun tahu kemana tuannya menuju..
Hanya mata dan hati ini tidak biasa untuk diperdaya oleh tidak kebenaranmu.. dan tidak pernah bisa
Maka pergilah untuk kesucian hati ini 



2nd


Oh kau begitu lama menemani roda kehidupan ini
Sentuhan tiap senar bangunkan nada-nada nirwana
Gelak tawa kau haturkan lewat mimpi
Di bawah langit malam yang bersedih dan kesaksian lalu lalang cahya lampu
Rintik hujan turun membasahi kita
aku pun harus melepasmu di tangan iblis nada
Hail ini kelebaianku tapi diri ini butuh sesuatu tuk mengisi kantung lebaran
Huahaha dah gitarku..

Wednesday, September 3, 2014

Puisi Swastisoed - Melodi Gitar Mahesa

Kala senja membangunkan angin sore
Gitar tua Mahesa menyambut gelak tawanya
Jari jemari mengalunkan nada sebuah lagu tua
Mulutnya bercengkrama melahirkan suara langit
Waktu hampir tenggelamkan suasana
Lampu-lampu kota suci semakin menyombong
Peraduan dimulai yang cantik ingin mulai
Jari-jemari terselimuti
menari di atas senar
F-C-DM-AM-Olupa
Lupa anugrah tawa Mahesa

Ah Mahesa sudah lupa
lupa? apakah lupa?
Mahesa ingin kembali
Ini hanyalah lantunan Hati Aira
Lantunan melodi gitar Mahesa yang tertutup ribuan daun

Night,3, 2014