Friday, January 10, 2014

Puisi - Siup Kemenyan


       SIUP KEMENYAN 

Kala malam menjelang
Ku lihat sosok besar di ujung pandang
Berdiri tegak hitam prawakan
Terlihat gondrong paras rambutnya

Bulu kudu sekitar tubuh pun berirama
Berdiri tegak kakulah dia
Badan merinding tercium bau kemenyan
Lemas sudah badan dirasa

Kini dentang jantung berkurang lajunya
Sosok seram tlah menghilang
Seiring tiupan angin malam
Di bawah pohon rambutan dekat kuburan

Kaki kaku kaku kakiku
Bergerak sudah lunglai kakiku
Bruuk ...... Saat ini raga menghujam ke tanah
Rasakan lega di hela nafas
Sosok itu telah lenyap bersama gelap

          
   JERAT GADIS PENGGODA
Terlihat di sana sosok perempuan muda
Kerlip mata menawarkan surga
Lekuk tubuhnya indah menawan
Berjalan laksana godaan masa pendewasaan

Inikah rasa dewasaku
Muncul seketika saat kulihat dia
Lentik manis paras mukanya kian menggoda
Sejenak hati ucapkan astagfirullah
Jerat itu harapkan sirna

Ku coba berjalan melewatinya
Lepas pandangan ku abaikan
Hentikan pendewasaan ini yang belum waktunya
Terus kesana mengikuti jalan-Nya

KUCUR NIRA AREN
Batang tegak berdiri sembunyi di semak-semak
Tertiup angin lembar mahkota di atasnya
Aren, sebutlah dia
Atas mahkota hasilkan nira
Nira ......
Airkah? Getahkah?
Tersebutlah air atau getah niramu.. aren
Sadaplah aku, ambil dan bawa kantong kosong ditanganmu
Seonggok bambu atau sejenisnya jadilah tempat tinggalku
Kucurkan aku, di atas lempeng hitam pekat
ditemani sang merah. Dan ubahlah aku, jadikan gumpal manis legit
yang menawan

HANYA DI BALIK KULIAH SYAIR TEMAN
Deru tugas dimana-mana
Pelan menjamah tak berhenti
Landaslah harus waktunya
Nan tanpa kecuali orang mana
Tugas mengecam
Di tengah hilir mudik pikiran
Di tengah lalu-lalang godaan
Tengadah menatap ke sana
Harap mengharap hentinya jua
Lemas kian beban di pundak
Beralih pada raga tersendak
Menitih jalan ke arah tujuan
Riyip-riyip mata lengkaplah sudah
Lelah . . . Lemah . . . Ringkih . . . Perih . . .
Di depan pandang teman menghilang
Perpecahan karna beban berita belum benarnya
Melebar jarak gandengan tangan
Teman jangan kau rasa hanya di luar
Renunglah . . . runduklah . . .
Ada yang salah dengan ini semua


SANDING MALAIKAT HATI
Hati terasa indah begini
Sandinglah malaikat hati
Prawakan lugu bernaluri
Beban hilang adanya suka cita
Seperti halnya remora hiu
Bersama apapun waktumu
Tetaplah … jagalah itu
Malaikat hati penghilang siksa
Sayap rapuh jatuh di pelataran
Putih lusuh berbalik namanya
Di dalam indah tak kuasa menahan
Luar tampak dalam tak menyangka
Sandinglah malaikat hati
Iya… iya…
Jawabnya dengan pasti
Hanya iya kata terucap
Pasti sudah semua jalannya
Hilang lenyap gundah nestapa
Malaikat hati berkata



PARANG BERTUAN
Parang bertuan….
Sepanjang jalan derita orang
Begitu simbol pasti miskin Negara
Tangis jeritan disegala penjuru
Bah batu kerikil tajam menawar
Kaki lusuh bercak tanah dunia
Goreslah sendiri badan lemasmu
Tak kunjung datang uluran kaum atas
Semu terlihat mereka tertawa lepas
Di bawah rakyat parang bertuan
Parang berkarat seiring jalan
Seiring lusuh keringat menetes sudah
Retak karatan pembuka fakta
Yang di atas kursi Negara hanya berfoya-foya
Anggap ini bunuh rakyatmu
Dengan parang bertuan nyata negaramu

SAAT TERAKHIR
Tergoreskan cerita kelam
Menghampiri siang malamku
Tertepiskan oleh kenyataan ini
Kesedihan sampai kedalam mimpi
Berfikir sejenak tuk jernihkan hati
Sedetik termenung lampiaskan gelapnya emosi
Yang ada kini hanya sesal

Terpisah oleh seonggok ruang hampa
Beratap hamparan ladang kamboja
Berdiam diri pada ruang abadi
Entah kini apa yang terjadi
Semua itu tak mungkin kembali
Hanya goresan nisan pengingat perih

                                                                                           herwin widyatmoko

No comments: