SIUP KEMENYAN
Kala malam menjelang
Ku lihat sosok besar di ujung pandang
Berdiri tegak hitam prawakan
Terlihat gondrong paras rambutnya
Bulu kudu sekitar tubuh pun berirama
Berdiri tegak kakulah dia
Badan merinding tercium bau kemenyan
Lemas sudah badan dirasa
Kini dentang jantung berkurang lajunya
Sosok seram tlah menghilang
Seiring tiupan angin malam
Di bawah pohon rambutan dekat kuburan
Kaki kaku kaku kakiku
Bergerak sudah lunglai kakiku
Bruuk ...... Saat ini raga menghujam ke
tanah
Rasakan lega di hela nafas
Sosok itu telah lenyap bersama gelap
JERAT GADIS PENGGODA
Terlihat di sana sosok perempuan muda
Kerlip mata menawarkan surga
Lekuk tubuhnya indah menawan
Berjalan laksana godaan masa pendewasaan
Inikah rasa dewasaku
Muncul seketika saat kulihat dia
Lentik manis paras mukanya kian menggoda
Sejenak hati ucapkan astagfirullah
Jerat itu harapkan sirna
Ku coba berjalan melewatinya
Lepas pandangan ku abaikan
Hentikan pendewasaan ini yang belum
waktunya
Terus kesana mengikuti jalan-Nya
KUCUR NIRA AREN
Batang tegak berdiri sembunyi di
semak-semak
Tertiup angin lembar mahkota di atasnya
Aren, sebutlah dia
Atas mahkota hasilkan nira
Nira ......
Airkah? Getahkah?
Tersebutlah air atau getah niramu.. aren
Sadaplah aku, ambil dan bawa kantong
kosong ditanganmu
Seonggok bambu atau sejenisnya jadilah
tempat tinggalku
Kucurkan aku, di atas lempeng hitam
pekat
ditemani sang merah. Dan ubahlah aku,
jadikan gumpal manis legit
yang menawan
HANYA DI BALIK KULIAH
SYAIR TEMAN
Deru tugas
dimana-mana
Pelan menjamah
tak berhenti
Landaslah harus
waktunya
Nan tanpa
kecuali orang mana
Tugas mengecam
Di tengah hilir
mudik pikiran
Di tengah
lalu-lalang godaan
Tengadah menatap
ke sana
Harap mengharap
hentinya jua
Lemas kian beban
di pundak
Beralih pada
raga tersendak
Menitih jalan ke
arah tujuan
Riyip-riyip mata
lengkaplah sudah
Lelah . . .
Lemah . . . Ringkih . . . Perih . . .
Di depan pandang
teman menghilang
Perpecahan karna
beban berita belum benarnya
Melebar jarak
gandengan tangan
Teman jangan kau
rasa hanya di luar
Renunglah . . .
runduklah . . .
Ada yang salah
dengan ini semua
SANDING MALAIKAT HATI
Hati terasa
indah begini
Sandinglah
malaikat hati
Prawakan lugu
bernaluri
Beban hilang
adanya suka cita
Seperti halnya
remora hiu
Bersama apapun
waktumu
Tetaplah …
jagalah itu
Malaikat hati
penghilang siksa
Sayap rapuh
jatuh di pelataran
Putih lusuh
berbalik namanya
Di dalam indah
tak kuasa menahan
Luar tampak
dalam tak menyangka
Sandinglah
malaikat hati
Iya… iya…
Jawabnya dengan
pasti
Hanya iya kata
terucap
Pasti sudah
semua jalannya
Hilang lenyap
gundah nestapa
Malaikat hati
berkata
PARANG BERTUAN
Parang bertuan….
Sepanjang jalan
derita orang
Begitu simbol
pasti miskin Negara
Tangis jeritan
disegala penjuru
Bah batu kerikil
tajam menawar
Kaki lusuh
bercak tanah dunia
Goreslah sendiri
badan lemasmu
Tak kunjung
datang uluran kaum atas
Semu terlihat
mereka tertawa lepas
Di bawah rakyat
parang bertuan
Parang berkarat
seiring jalan
Seiring lusuh
keringat menetes sudah
Retak karatan
pembuka fakta
Yang di atas
kursi Negara hanya berfoya-foya
Anggap ini bunuh
rakyatmu
Dengan parang
bertuan nyata negaramu
SAAT TERAKHIR
Tergoreskan
cerita kelam
Menghampiri
siang malamku
Tertepiskan
oleh kenyataan ini
Kesedihan
sampai kedalam mimpi
Berfikir
sejenak tuk jernihkan hati
Sedetik
termenung lampiaskan gelapnya emosi
Yang
ada kini hanya sesal
Terpisah
oleh seonggok ruang hampa
Beratap
hamparan ladang kamboja
Berdiam
diri pada ruang abadi
Entah
kini apa yang terjadi
Semua
itu tak mungkin kembali
Hanya goresan nisan pengingat perih
herwin widyatmoko