Tuesday, December 27, 2011

Filsafat dan Nilai Budaya BUBUR MERAH DAN BUBUR PUTIH



LATAR BELAKANG
Indonesia memiliki beragam budaya dan adat istiadat di masing masing daerah kepulauan. Kebudayaan yang dimiliki bangsa Indonesia harus tetap lestari dan terjaga. Dari berbagai macam rumah adat, pakaian, makanan khas, bahasa dan perilaku sangatlah membanggakan bila kita tahu sejarahnya dan bisa tetap melestarikan hal tersebut.
Sebagai bangsa Indonesia kita harus bisa meneruskan budaya budaya luhur zaman dahulu tetapi tetap sejalan pada konteks pancasila sebagai dasar Indonesia sesuai era sekarang ini. Berbagai daerah di Indonesia melahirkan beragam kuliner yang menarik dan tentunya sangat lezat untuk dinikmati. Tetapi terdapat beberapa kuliner yang khusus dimasak pada hari hari tertentu.
Sepiring bubur merah dan bubur putih Jawa memberikan suatu inspirasi bagaimanakah pemikiran realita dan nilai budaya masyarakat Indonesia khususnya daerah Jawa. Apa yang terkandung dalam sepiring bubur merah putih tersebut. Selanjutnya, akan kami bahas dalam makalah ini.



Sejarah Bubur Merah dan Bubur Putih
Dua peristiwa besar pada bulan Muharam yang sering diperingati kaum Muslimin yaitu pertama, peringatan tahun baru Hijriah yang jatuh pada tanggal 1 Muharam dan kedua, peringatan tragedi terbunuhnya Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Nabi Muhammad saw., di Padang Karbala pada tanggal 10 Muharam. Dari keduanya, peringatan tragedi Karbala memiliki dimensi tersendiri meskipun lebih sedikit kaum Muslimin yang memperingatinya.
Begitu membekasnya peristiwa itu, sehingga menumbuhkan sebuah tradisi di tengah masyarakat sebagai bentuk penghormatan atas syahidnya Imam Husein. Sebuah perang yang tidak seimbang terjadi. Imam Husein dengan sekira 70 pengikutnya berhadapan dengan sekira 30.000 tentara Yazid yang dikomandani Ubadilillah bin Ziyad.
Puncaknya, Imam Husein syahid dan kepalanya dipenggal lalu diarak ke istana Yazid bin Muawiyah. Banyak penduduk Irak meratapinya, karena mereka tahu persis siapa lelaki yang disebut Rasulullah sebagai pemuka para penghuni surga itu. Peristiwa terbunuhnya Imam Husein terjadi pada tanggal 10 Muharam 61 Hijriah.
Tanggal tersebut dikenal dengan nama Hari Asyura. Lidah Jawa melafalkannya menjadi Suro.. Menjadi ritual wajib tahunan yang tidak bisa ditinggalkan. Mereka mengadakan semacam teater massal di tempat terbuka. Lalu kisah penderitaan Husein dibacakan, semua orang menangis. Kemudian mereka berarak, sambil meneriakkan kalimat, "Setiap hari adalah Asyura, setiap tempat adalah Karbala."
DI Indonesia, peringatan Asyura memang tidak seheboh di Irak atau Iran. Tapi bukan tidak ada sama sekali. Sejak dulu peringatan ini dilangsungkan, dan pada umumnya dengan suasana yang sederhana. Kebanyakan dari mereka tidak tahu persis seperti apa tragedi itu terjadi dan apa motif di belakangnya. Hanya kesadaran tradisilah yang memandu mereka untuk tetap menyelenggarakan peringatan Asyura. Pada tahun 70-an, di beberapa tempat di Jawa Barat kegiatan ini masih berlangsung setiap tahun. Terutama di kampung-kampung.
Di sebuah kampung di Tasikmalaya, pada pagi hari setiap tanggal 10 Muharam hampir setiap rumah memasak bubur merah dan putih yang disimpan terpisah. Bubur itu kemudian dikenal dengan bubur suro. Selanjutnya makanan itu dibawa ke masjid untuk dinikmati masyarakat yang dating ke masjid tersebut. Di Cimahi kabupaten Bandung, masyarakat desa menyuguhkan hidangan berupa bubur beureum (bubur merah) dan bubur bodas (bubur putih). Kebiasaan atau adat-istiadat ini dikenal oleh masyarakat Sunda Priangan sebagai tradisi ngabubur beureum jeung ngabubur bodas. Bubur ini, umumnya, dihidangkan bersamaan dalam sebuah piring kecil yang porsinya dibagi dua, yakni setengah untuk bubur merah, setengah lagi untuk bubur putih. Bubur merah terbuat dari beras ketan yang diberi gula merah

Filsafat Sepiring Bubur Merah dan Bubur Putih
Filosofi bubur merah putih menurut masyarakat bandung adalah kedua bubur ini melambangkan keberanian dan kesucian; Merah (simbol dari keberanian) dan putih (simbol dari kesucian). Pada moment pemberian nama, kedua bubur ini merupakan simbol dari harapan keluarga, agar kelak si jabang bayi memiliki kesimbangan atara sifat berani dan kesucian (pemihakan pada kebenaran).
Sedangkan pada moment10 Muharram atau Sura, kedua jenis bubur ini dihadirkan sebagai bentuk napak tilas terhadap peristiwa Syuhada-nya Sayyidina Husein (cucu Nabi Muhammad) di Padang Karbala oleh pasukan Yazid. Bubur ini menyimbolkan keberanian dan darah syihada dari Sayyidina Husein dan pasukannya yang melakukan puputan (perang terakhir, sekalipun dengan kekuatan tak berimbang). Sedangkan bubur putih menyimbolkan kesucian atau kebenaran yang dibela Sayyidina Husein. Pemaknaan ini jelas merupakan data khas Islam.
Selanjutnya pada moment pendirian rumah, kedua bubur ini sering disandingkan dengan bendera merah putih serta makanan lainnya. Maksud dari si empunya rumah adalah untuk berbagi dengan tetangga sebagai ekspresi dari rasa syukur dikarunia oleh Allah berupa kemampuan mendirikan rumah. Kedua bubur ini pun, menurut sebagian kalangan tua, menyimbolkan pendidikan terhadap tanah air [merah: tanah; air:putih], terutama dalam konteks perlawanan [diam] terhadap kolonial Belanda dan Jepang. Ketika kain untuk bendera merah putih masih terbatas, maka bubur merah dan putih dijadikan media penyimbolan bagi lambang negara Indonesia.
Filosofi bubur merah putih (berbentuk lingkaran bubur putih dikelilingi oleh bubur merah) menurut tradisi turun menurun simbah di Kudus adalah dimana putih artinya asal kehidupan yakni sebelum manusia lahir. Kemudian merah yaitu dunia atau bumi tempat manusia lahir. Makanan tradisi ini dibuat untuk bentuk rasa syukur seseorang tersebut terlahir dan hidup di dunia. Setelah dibacakan doa doa bubur tersebut dibagikan pada tetangga dekat

Nilai  Budaya Sepiring Bubur Merah dan Bubur Putih
Terdapat pemaknaan simbolik terhadap keberadaan kedua jenis bubur ini, terutama ketika dihubungkan dengan moment-moment penyajiannya. Pada ketiga momen tersebut(Bandung), penggunaan kedua jenis bubur ini, pada saatnya, tidak dapat dilepaskan dari fungsinya sebagai media pendidikan penanaman kesadaran nilai yang digunakan masyarakat Sunda. Kini fungsi ini diambil alih dengan media lain, yang belum tentu memiliki efektivitas yang sama. Tradisi ini kini sudah mulai memudar di kalangan pemakainya.
Terdapat banyak nilai budaya pendidikan yang terkandung dalam sepiring bubur merah putih tersebut :
1.      Nilai religius : Sebagai ritual wajib tahunan peringatan Asyura
2.      Nilai Jujur : bubur putih menyimbolkan kesucian atau kebenaran yang dibela Sayyidina Husein
3.      Nilai semangat kebangsan : seperti pada moment pendirian rumah masyarakat bandung
4.      Nilai cinta tanah air : Ketika kain untuk bendera merah putih masih terbatas, maka bubur merah dan putih dijadikan media penyimbolan bagi lambang negara Indonesia.
5.      Nilai toleransi cinta damai dan bersahabat : membagikan bubur untuk masyarakat secara ikhlas tanpa membeda bedakan untuk tetangga sekitar.
6.      Nilai kreatif  :  menjadikan sebuah makanan sebagai simbol peringatan Suro
7.      Itulah beberapa nilai budaya yang terkandung dalam sepiring bubur merah putih

Lestarikanlah budaya budaya Indonesia dengan belajar mengetahui asal usulnya dan mengaplikasikannya dalam kehidupan
Terapkan nilai nilai budaya leluhur Indonesia selama para leluhur kita dahulu tetap berada dalam konteks kebenaran dan Pendidikan Islam

DAFTAR PUSTAKA

Rusmana Dadan, 2011, Tradisi Nga-”bubur beureum” dan “bubur Bodas”, Blog Archive: Cileunyi
Indrawan M Robby,2012  BUDAYA BUBUR MERAH BUBUR PUTIH,PDF:CIANJUR