LATAR BELAKANG
Indonesia memiliki beragam budaya
dan adat istiadat di masing masing daerah kepulauan. Kebudayaan yang dimiliki
bangsa Indonesia harus tetap lestari dan terjaga. Dari berbagai macam rumah
adat, pakaian, makanan khas, bahasa dan perilaku sangatlah membanggakan bila
kita tahu sejarahnya dan bisa tetap melestarikan hal tersebut.
Sebagai bangsa Indonesia kita harus
bisa meneruskan budaya budaya luhur zaman dahulu tetapi tetap sejalan pada
konteks pancasila sebagai dasar Indonesia sesuai era sekarang ini. Berbagai
daerah di Indonesia melahirkan beragam kuliner yang menarik dan tentunya sangat
lezat untuk dinikmati. Tetapi terdapat beberapa kuliner yang khusus dimasak
pada hari hari tertentu.
Sepiring bubur merah dan bubur putih
Jawa memberikan suatu inspirasi bagaimanakah pemikiran realita dan nilai budaya
masyarakat Indonesia khususnya daerah Jawa. Apa yang terkandung dalam sepiring
bubur merah putih tersebut. Selanjutnya, akan kami bahas dalam makalah ini.
Sejarah
Bubur Merah dan Bubur Putih
Dua peristiwa besar pada bulan Muharam yang sering
diperingati kaum Muslimin yaitu pertama, peringatan tahun baru Hijriah yang
jatuh pada tanggal 1 Muharam dan kedua, peringatan tragedi terbunuhnya Imam
Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Nabi Muhammad saw., di Padang Karbala pada
tanggal 10 Muharam. Dari keduanya, peringatan tragedi Karbala memiliki dimensi
tersendiri meskipun lebih sedikit kaum Muslimin yang memperingatinya.
Begitu membekasnya peristiwa itu, sehingga menumbuhkan
sebuah tradisi di tengah masyarakat sebagai bentuk penghormatan atas syahidnya
Imam Husein. Sebuah perang yang tidak seimbang terjadi. Imam Husein dengan
sekira 70 pengikutnya berhadapan dengan sekira 30.000 tentara Yazid yang
dikomandani Ubadilillah bin Ziyad.
Puncaknya, Imam Husein syahid dan kepalanya dipenggal lalu diarak ke istana Yazid bin Muawiyah. Banyak penduduk Irak meratapinya, karena mereka tahu persis siapa lelaki yang disebut Rasulullah sebagai pemuka para penghuni surga itu. Peristiwa terbunuhnya Imam Husein terjadi pada tanggal 10 Muharam 61 Hijriah.
Puncaknya, Imam Husein syahid dan kepalanya dipenggal lalu diarak ke istana Yazid bin Muawiyah. Banyak penduduk Irak meratapinya, karena mereka tahu persis siapa lelaki yang disebut Rasulullah sebagai pemuka para penghuni surga itu. Peristiwa terbunuhnya Imam Husein terjadi pada tanggal 10 Muharam 61 Hijriah.
Tanggal tersebut dikenal dengan nama Hari Asyura. Lidah Jawa
melafalkannya menjadi Suro.. Menjadi ritual wajib tahunan yang tidak bisa
ditinggalkan. Mereka mengadakan semacam teater massal di tempat terbuka. Lalu
kisah penderitaan Husein dibacakan, semua orang menangis. Kemudian mereka
berarak, sambil meneriakkan kalimat, "Setiap hari adalah Asyura, setiap
tempat adalah Karbala."
DI Indonesia, peringatan Asyura memang tidak seheboh di Irak
atau Iran. Tapi bukan tidak ada sama sekali. Sejak dulu peringatan ini
dilangsungkan, dan pada umumnya dengan suasana yang sederhana. Kebanyakan dari
mereka tidak tahu persis seperti apa tragedi itu terjadi dan apa motif di
belakangnya. Hanya kesadaran tradisilah yang memandu mereka untuk tetap
menyelenggarakan peringatan Asyura. Pada tahun 70-an, di beberapa tempat di
Jawa Barat kegiatan ini masih berlangsung setiap tahun. Terutama di
kampung-kampung.
Di sebuah kampung di Tasikmalaya,
pada pagi hari setiap tanggal 10 Muharam hampir setiap rumah memasak bubur
merah dan putih yang disimpan terpisah. Bubur itu kemudian dikenal dengan bubur
suro. Selanjutnya makanan itu dibawa ke masjid untuk dinikmati masyarakat yang
dating ke masjid tersebut. Di Cimahi kabupaten Bandung, masyarakat desa menyuguhkan
hidangan berupa bubur beureum (bubur merah) dan bubur bodas (bubur
putih). Kebiasaan atau adat-istiadat ini dikenal oleh masyarakat Sunda Priangan
sebagai tradisi ngabubur beureum jeung ngabubur bodas. Bubur ini,
umumnya, dihidangkan bersamaan dalam sebuah piring kecil yang porsinya dibagi
dua, yakni setengah untuk bubur merah, setengah lagi untuk bubur putih. Bubur
merah terbuat dari beras ketan yang diberi gula merah
Filsafat
Sepiring Bubur Merah dan Bubur Putih
Filosofi bubur merah
putih menurut masyarakat bandung adalah kedua bubur ini melambangkan keberanian dan kesucian; Merah
(simbol dari keberanian) dan putih (simbol dari kesucian). Pada moment
pemberian nama, kedua bubur ini merupakan simbol dari harapan keluarga, agar
kelak si jabang bayi memiliki kesimbangan atara sifat berani dan kesucian
(pemihakan pada kebenaran).
Sedangkan pada moment10 Muharram atau Sura, kedua
jenis bubur ini dihadirkan sebagai bentuk napak tilas terhadap peristiwa
Syuhada-nya Sayyidina Husein (cucu Nabi Muhammad) di Padang Karbala oleh
pasukan Yazid. Bubur ini menyimbolkan keberanian dan darah syihada dari
Sayyidina Husein dan pasukannya yang melakukan puputan (perang terakhir,
sekalipun dengan kekuatan tak berimbang). Sedangkan bubur putih menyimbolkan
kesucian atau kebenaran yang dibela Sayyidina Husein. Pemaknaan ini jelas
merupakan data khas Islam.
Selanjutnya pada moment pendirian rumah, kedua bubur ini
sering disandingkan dengan bendera merah putih serta makanan lainnya. Maksud dari
si empunya rumah adalah untuk berbagi dengan tetangga sebagai ekspresi dari
rasa syukur dikarunia oleh Allah berupa kemampuan mendirikan rumah. Kedua bubur
ini pun, menurut sebagian kalangan tua, menyimbolkan pendidikan terhadap tanah
air [merah: tanah; air:putih], terutama dalam konteks perlawanan [diam]
terhadap kolonial Belanda dan Jepang. Ketika kain untuk bendera merah putih
masih terbatas, maka bubur merah dan putih dijadikan media penyimbolan bagi
lambang negara Indonesia.
Filosofi bubur merah putih (berbentuk lingkaran bubur putih
dikelilingi oleh bubur merah) menurut tradisi turun menurun simbah di Kudus
adalah dimana putih artinya asal kehidupan yakni sebelum manusia lahir.
Kemudian merah yaitu dunia atau bumi tempat manusia lahir. Makanan tradisi ini
dibuat untuk bentuk rasa syukur seseorang tersebut terlahir dan hidup di dunia.
Setelah dibacakan doa doa bubur tersebut dibagikan pada tetangga dekat
Nilai Budaya Sepiring Bubur Merah dan Bubur Putih
Terdapat pemaknaan simbolik terhadap keberadaan kedua jenis
bubur ini, terutama ketika dihubungkan dengan moment-moment penyajiannya. Pada
ketiga momen tersebut(Bandung), penggunaan kedua jenis bubur ini, pada saatnya,
tidak dapat dilepaskan dari fungsinya sebagai media pendidikan penanaman kesadaran
nilai yang digunakan masyarakat Sunda. Kini fungsi ini diambil alih dengan
media lain, yang belum tentu memiliki efektivitas yang sama. Tradisi ini kini
sudah mulai memudar di kalangan pemakainya.
Terdapat banyak nilai budaya pendidikan yang terkandung
dalam sepiring bubur merah putih tersebut :
1.
Nilai
religius : Sebagai ritual wajib tahunan peringatan Asyura
2.
Nilai
Jujur : bubur putih menyimbolkan kesucian atau kebenaran yang dibela Sayyidina
Husein
3.
Nilai
semangat kebangsan : seperti pada moment pendirian rumah masyarakat bandung
4.
Nilai
cinta tanah air : Ketika kain untuk bendera merah putih masih terbatas, maka
bubur merah dan putih dijadikan media penyimbolan bagi lambang negara
Indonesia.
5.
Nilai
toleransi cinta damai dan bersahabat : membagikan bubur untuk masyarakat secara
ikhlas tanpa membeda bedakan untuk tetangga sekitar.
6.
Nilai
kreatif : menjadikan sebuah makanan sebagai simbol
peringatan Suro
7.
Itulah
beberapa nilai budaya yang terkandung dalam sepiring bubur merah putih
Lestarikanlah budaya budaya Indonesia dengan belajar
mengetahui asal usulnya dan mengaplikasikannya dalam kehidupan
Terapkan nilai nilai budaya leluhur Indonesia selama para
leluhur kita dahulu tetap berada dalam konteks kebenaran dan Pendidikan Islam
DAFTAR
PUSTAKA
Rusmana Dadan, 2011, Tradisi Nga-”bubur
beureum” dan “bubur Bodas”, Blog Archive: Cileunyi
Indrawan M Robby,2012 BUDAYA
BUBUR MERAH BUBUR PUTIH,PDF:CIANJUR